Kapan Aku Bisa Memamerkan Pada Senja? Bahwa Kita Sedang Duduk Berdua



    Kala matahari hendak kembali ke peraduannya, aku duduk disni sendiri sambil menikmati kopi, seperti biasanya aku masih di temani dengan benda benda yang sama. Yaitu buku, pena lalu sepotong puisi untukmu sore ini. Rindu masih kuteguk dengan pelan namun setiap sore kunikmati seduhan rindu yang pilu darimu, dia semacam candu yang jika aku tidak meminumnya sekali saja aku seperti gila. Kurang lebih begitu, tapi juga perlu kau tahu sedamba apapun aku padamu pemilik rindu.  Sangat pantang bagiku mengatakan padamu.

    Saat ini aku sedang duduk diberanda rumah milik nenekku namun, hati dan fikiranku selalu bersamamu, kau selalu bisa mengajakku kemana saja dan kita selalu bersama hanya di satu tempat yang kau tak bisa mengajaku kesana, yaitu sebuah hal sederhana hanya sekedar duduk di sampingmu, kita berdiam saja tak usah saling bicara itupun aku sudah sangat bahagia.

   Aku hanya ingin tahu rasanya menuliskan puisi didepan orang yang ku puisikan kali ini, aku ingin merasakan debar kali ini bukan aku sendiri yang memiliki, atau hanya melihat sorot matamu yang sayu, namun itu selalu bisa membuatku rindu.

   Aku membayangkan alangkah bahagianya jika, aku bisa memamerkan kepada senja bahwa kita sedang duduk bersama, atau hanya sekedar menikmati teh tanpa gula sungguh itu tidak mengapa, karena bersamamu aku tak perlu memalsukan rasa, aku akan minum teh ataupun  kopi tanpa gula.

    Biar kunikmati keaslian rasa  keduanya, biar tidak ada penyamaran rasa atau penyembunyian pahit kopi dalam larut gulanya. Bersamamu aku ingin semuanya berjalan apa adanya, sudah bosan rasanya aku bermain dalam hal menyembunyikan rasa. Bertahun tahun sudah cukup bagiku membaohongimu dan mereka bahkan aku juga berbohong kepada diriku sendiri. Pecundang ! memang, kau benar aku ini pecundang sayang.

    Lamunanku panjang, sepertinya cukup untuk dibuatkan menjadi sebuah buku diary, mataku menatap lurus ke depan tepat pada jalan yang setapak menuju persawahan, setiap sore hari kulihat para petani padi beramai – ramai pulang ke rumah mereka masing masing. Ada yang berjalan kaki, berkendara sepeda motor bahkan ada yang sambil membawa mesin bajak sawahnya.

     Mereka Nampak lelah namun tidak mengahalangi mereka untuk bersenda gurau satu dengan lainya, sesekali kulihat wanita paruh baya itu tertawa kearah suaminya. Kau tahu mengapa mereka bahagia? Karena mereka akan melepas lelahnya seharian bekerja inilah waktu mereka pulang.

     Artinya yang mereka tunggu adalah sebuah kepastian.
Jadi, menunggu itu tidak apa apa, tidak membosankan, juga tidak sia sia selama, yang kau tunggu itu sesuatu yang pasti, jika yang kau tunggu itu akan pulang,  yang kau tunggu itu belum lupa jalan kembali. Tapi jika semua itu kebalikanya  menunggumu itu akan menjadi hal yang sia sia belaka. Kamu tidak akan pernah mendapatkan apa apa. Selain hanya luka, lara, atau rindu yang pilu.

    Sepertinya itu yang selalu kurasakan padamu, aku sudah tahu menunggu seseorang yang sudah lupa jalan pulang adalah hal yang sangat tidak berguna, hal yang akan sia-sia saja, tapi mengapa semua ini masih kunikmati? Kurasa aku tidak terlalu bodoh untuk mengetahui kamu sudah tidak peduli untuk kembali tetapi, di dalam hatiku yang paling dalam ada semacam keegoisan yang ingin terus begini. Atau bahkan hanya sekedar membuka hati lagi namun tak kunjung kusanggupi,  namun sama saja kamu tetap penguasa bagi relung jiwa. Namun, satu yang ada pada dirimu tak pernah kutemukan dalam diri mereka.

    Aku memang pandai mempuisikan ketertarikan kepada seseorang tapi aku tak pandai dalam hal mengutarakan atau hanya sekedar menunjukan bahwa aku perhatian, aku peduli saja aku tak ingin, aku akan lebih sangat bahagia jika seseorang yang aku suka itu taunya aku benci saja sama dia. Itu sungguh aku bahagia.

Sumatra Selatan, 22 Juni 2017





-Diah Ayuningtyas 🍃

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kembanggula Cerpen : Lelaki Bertopi Di Sudut Ruangan Ini

Cerpen Remaja : Tidak Ada Senja Hari Ini ⛅

Dayu 💜